teruntuk Aan, adikku.


28 Desember 2018
Lepas sholat jumat kami dapatkan kabar bahwa kamu kecelakaan, an. Kau tau betapa risaunya kami? Aku yang baru selesai makan dengan lutvi langsung bergegas sholat dhuhur. Ya, lutvi kebetulan ada disini. Abid, mas alim dan bapak ibumu sudah ada disana, rumah sakit. Lek jer mengurus motormu yang rusak karena kamu yang tabrakkan ke arah mobil box di tepi jalan. Entah apa yang kau pikirkan saat mengendarainya.
Lepas sholat aku dan lutvi langsung ke rumah sakit, bu dhe berpesan untuk segera memberi kabar, dia juga khawatir. Sampai disana ternyata sudah ada banyak keluarga. Cepat sekali sudah ada disini, inilah yang aku cintai dari keluarga besarku. Mereka sangat peduli dan sayang. Bersyukurlah kamu an, setidaknya kita punya kakek seorang mantri. Jadi tidak telalu sulit mengurus segala sesuatu disana. Disana sudah ada kak huda, lek rokhim, mbah nuk, mbah mantri, dan juga kakak-kakakmu ini. Aku dan lutvi, kami segera masuk ke UGD. Astaga, disana sangat penuh. Hari-hari ini baru saja usai natal dan  menjelang tahun baru, jalanan tentu saja ramai hingga menyebabkan angka kecelakaan meningkat tak terkendali. Kamu? Terbaring di ranjang di tengah jalan UGD. Kasihan kamu, tidak dapat jatah ruang UGD, tanganmu tertancap infus, wajahmu dililit selang oksigen. Ada mbah nuk dan mbah mantri disana, ibumu? Ada duduk disamping kamu yang tebaring tak berdaya, mungkin setengah pingsan. Ibumu, matanya merah terlalu banyak menangis. Disitulah aku merasa ikut sangat sedih. Aah! Jika kau lihat wajah ibumu kau pun tak akan kuasa untuk menangis. Ibumu, an, dia sangat sedih. Kau harus tau naluri seorang ibu, tak akan sanggup bila anak yang dikandung dan dibesarkan selama ini sedang terluka dan terbaring di rumah sakit. Bahkanpun bila bukan anak kandung, ibu tetaplah ibu. Pikirannya mungkin sudah kemana-mana, apa yang terjadi padamu? Apakah lukamu parah? Bagaimana bila ada kelainan organ dalam? Bagaimana bila kamu patah tulang? Bagaimana jika kamu pingsan dan tidak akan pernah bangun lagi?. Mungkin itu yang sedang ibumu pikirkan.
Dan kamu jatuh pun tidak sendiri, kamu bawa anak dari teman ibumu. Kamu tau bagaimana keadaannya? Bibirnya bengkak, mungkin bila kau melihatnya akan sedikit tertawa. Ah tidak, jahat sekali aku ini. Ditambah satu dari sepuluh jarinya bengkak pula, dia menolak untuk di rogne. Tapi dia tidak diinfus sepertimu. Orang tuanya sibuk mengurus ini itu, ibumu juga! Ini anak orang kamu ajak kecelakaan, untung saja dia tidak terluka parah. Bagaimana bila dia terluka amat parah? Apa yang akan dikatakan ibumu pada orang tuanya? Sungguh ini adalah keadaan dimana semua orang sedang tegang. Tidak ada yang tersenyum atau bahkan tertawa.
Ibumu sedang berbicara dengan mbah nuk, aku juga menyimak. Ibumu bercerita, semalam dia baru saja bermimpi aneh. Dia bilang, dirumah tiba-tiba banyak orang. Entah dalam rangka apa, bahagia atau sedih. Yang jelas sangat aneh menurutnya, dan hari ini? kau justru membuat keanehan mimpi itu menjadi nyata. Huft! Inilah lagi-lagi perasaan seorang ibu an, kamu harus tau. Ibumu bisa merasakan sesuatu yang bahkan belum terjadi, lebih-lebih tentang anak-anaknya. Jadi jangan kau sekali saja membuat ibumu terluka. Dia bercerita sambil menangis sesenggukan pada mbah nuk dan aku. Aku menyimak dan menatapnya lamat-lamat, matanya penuh dengan kekhawatiran tak bertepi. Aku memang diam, tapi sebenarnya aku sedang bergetar, hatiku pun tak karuan melihatnya, buluku merinding, aah! Kau rasakan sendiri saja.
Mamah dan mbakmu datang, sinta. Mamah langsung menuju UGD menemuimu, aku sedang bersama lutvi di ruang tunggu, dan sinta menyusul juga. Ibumu sibuk berbicara-bernegosiasi mungkin dengan keluarga temannya itu. Ayahmu wira-wiri mengurus dan bernegosiasi juga dengan orang yang mobil boxnya kau tabrak tadi, ditemani seorang laki-laki yang biasa kalian menyebutnya, ndan. Aku tidak mengenalnya.
Aku selalu merasa khawatir juga padamu, ku langkahkan kakiku menuju UGD lagi, ada mamah disana. Saat aku melihatnya, dia juga menangis, dipakainya kerudung yang ia kenakan untuk menyeka tangisnya. Seketika saat itu juga aku berkata dalam hati,
“kamu anak kami, kamu saudara kami, kamu adik kami semua. Maka jika kamu terluka sedikit saja, jangan harap bisa menahan kami untuk menangis sedih atau memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Kamu anak kami, kami menyayangimu. Kamu jagoan kami, ayo! Cepatlah bangun. Berhentilah membuat kami khawatir berkepanjangan.”
Dan benar, beberapa detik kamudian kamu bangun. Apa aku sebagai kakak sepupumu juga punya ikatan yang begitu kuat? Aku mulai berimajinasi. Dengan lirih dan lemas kamu bilang ingin muntah. Perawat dengan sigap menyediakan kantong kresek, mamah mengarahkan kepadamu. Kamu batuk hampir seperti muntah, tapi tidak keluar apa-apa. Kamu sedang bercanda? Tapi aku bukan mahasiswa kesehatan, aku tidak tau menau semacam ini. mungkin ini efek dari entah apa yang kamu minum atau terjadi padamu. Mamah menyuruhku memanggil ibumu. Ibumu datang dan aku langsung keluar, UGD menghimbau untuk hanya satu penunggu saja setiap pasien. Aku mencoba menjadi mahasiswa yang baik dengan taat aturan.
Aku keluar dari UGD, melihat temanmu tadi sedang makan nasi dengan ayam krispi di ruang tunggu. Enak sekali?! Dia makan dengan tenang sementara kamu masih terbaring. Tega sekali, pikirku. Tapi kasihan juga, dia makan dengan bibir yang menganga. Tau sendiri kan? Dia luka dan bengkak di bagian bibir atasnya. Sekarang aku jadi ingin mentertawakannya, ah memang jahat sekali aku ini ya, jengkelku tadi jadi hilang. Toh ini semua tetap salahmu, an!
Aku pergi ke tempat parkir bergabung dengan kak huda dan abid juga mas alim. Lutvi masih bersamaku, sinta juga. Kami berenam di tempat parkir. Di depan pintu rumah sakit kulihat ayahmu, sopir mobil box, mbah mantri dan ndan  masih berbicara segala tetek mbengek yang tadi. Lalu mbah nuk dan mbah mantri pamit pulang, sedang ada pasien menunggu di rumah, katanya. Setelah cukup lama, perdiskusian bapak-bapak ini berakhir dengan ndan memberi beberapa lembar uang pada pak sopir. Dan pak sopir pun pulang setelah sebelumnya saling bersalaman damai. Yaah.. begitulah orang indonesia, mereka ramah bahkan setelah bersitegang sekalipun.
Dan ya, sebelum aku keluar ke parkiran. Saat di ruang tunggu tadi, aku melihat sinta menangis, an. Haha lucunya. Tidak! Ini tidak lucu, hmm. Mbakmu yang super jumbo ini juga khawatir padamu, an. Kau membuat semua orang khawatir. Dan lutvi? Dia meminjam hp ku untuk sekedar memotret kursi-kursi di ruang tunggu itu dari belakang. Dipostingnya di halaman status watsap dengan menyertakan lokasi di rumah sakit. Aku saja baru tau saat sudah pulang kerumah sorenya.
Ya memang. Setiap orang pasti punya perasaan. Pasti. Tidak mungkin tidak. Hanya terkadang beberapa orang lebih membesarkan ego dan gengsi daripada harus terlihat lemah di depan orang lain. Orang sejahat apapun, sebengis apapun, jika dia dihadapkan  pada situasi yang rumit maka dia akan lemah lalu menangis diam-diam.
Sinta dan lutvi pulang, untuk mengambilkan kerudung untuk ibumu atas perintah mamah. Ibumu memang memakai kerudung, tapi ‘an, ibumu yang biasanya ku lihat tampil dengan jlbab yang cantik dan modis, hari ini aku melihatnya sangat tidak berdaya. Dia tidak peduli lagi entah jilbab yang seperti apa yang dia pakai. Dia tidak peduli bahwa jilbabnya sobek di bagian kanan, dia tidak peduli jilbabnya yang sudah terlalu kecil untuk dipakai, dia tidak peduli apapun, yang ia pikirkan adalah kamu. Jantungnya mungkin saja sempat berhenti sejenak saat mendengar kabar tentang kamu. An, jangan sekali lagi kau buat ibumu khawatir, apalagi seperti saat ini. jadilah anak yang baik.
Temanmu beserta keluarganya sudah pulang bersama dengan mobil ndan. Sisa aku, abid, kak huda dan mas alim. Sinta kembali lagi membawa jilbab yang sedikit lebih pantas, lutvi langsung pulang, ia harus latihan untuk pesta festival salak besok di desanya. Aku dan kakak-kakakmu ini bercanda tawa sejenak di luar, melepas ketegangan. Kau pasti tau kan kalau kakak-kakakmu ini memang suka sekali memainkan jokes dan tidak betah berlama-lama tegang. Ketiga kakak laki-lakimu akhirnya pulang, tinggal aku dan sinta. Mamah masih menemani ibumu di UGD, mamah tidak taat aturan. Tapi bagaimana lagi, mamah sudah menganggap kau seperti anaknya sendiri. Aku dan sinta duduk di ruang tunggu lagi, ayahmu datang dan haus, menyuruh kami membeli air di indomart di sebrang sana. Kami pergi.
Kau tau ‘an, ayahmu sangat khawatir juga. Tapi dia seorang laki-laki dan seorang ayah. Mungkin pantang baginya untuk memperlihatkan khawatirnya. Kau tau? Ayah adalah satu orang tua yang tidak pandai mengungkapkan isi hatinya. Jika sedang ada yang membuatnya risau, dia memilih diam atau mencari kesibukan lain, sehingga terlihat seperti tidak terjadi apa-apa. Maka itulah yang membuat kita terkadang berpikir mengapa seorang ayah tidak pernah sedih? Apa dia tidak sayang pada kita? Bukan begitu. Tapi ketika anak-anaknya mendapat keberhasilan meskipun hanya kecil, maka ayah adalah orang pertama yang paling bahagia dan bangga. Dia bisa berteriak keras, tertawa bahagia dan bahkan tersenyum sumringah berhari-hari atas keberhasilan anaknya. Itulah ayah. Dia selalu berusaha agar anak-anaknya tidak kekurangan apapun. Dia menyeka peluhnya sebelum pulang kerja, agar saat tiba di rumah dia bisa berbagi kebahagiaan dengan anak-anak dan istrinya tanpa harus ada keluh yang sudah ia hapus sebelumnya. An, ayahmu adalah orang hebat. Jangan juga kau buat dia sedih ya. Jadilah anak baik.
Di indomart mbakmu yang jumbo itu langsung pergi mengelilingi seluruh rak indomart, padahal air mineral ada tepat di depan kasir yang berjarak hanya beberapa jengkal saja. saat baru masuk ke indomart sudah bisa terlihat jelas jejeran air mineral itu. Tapi mbakmu itu, untuk apa dia sibuk-sibuk berkeliling seluruhnya, dasar. Air mineral sudah ditangan, tiba-tiba mbakmu itu berbisik bahwa dia ingin membeli kuaci rebo. Hah! Mbakmu yang super jumbo ini menjengkelkan ya.. haha sudahlah, ambil saja, kataku.
Kembali ke rumah sakit dan di ruang tunggu. Di ruang tunggu yang tidak begitu panjang itu hanya ada aku, mbakmu yang jumbo dan ayahmu. Kita bertiga justru asik makan kuaci. Padahal kita tau itu adalah tempat tunggu orang mengantre obat, bukan tempat makan. Ya, citraku sebagai mahasiswa yang taat aturan tercoreng sudah. Kami sangat menikmati makanan hamtaro ini, sudah seperti hamster yang kelaparan. Meskipun tidak punya dua gigi kelinci, setidaknya kita bisa memecahkan kuaci yang rasanya green tea. Apakah hamtaro doyan makan kuaci rasa seperti ini?
Ibumu keluar dari ruangan UGD menyusul kami bertiga, meminta mamah untuk pulang saja. mamah banyak pekerjaan di rumah, sinta pun ikut pulang tak lupa dibawanya kuaci tadi. Dia seperti teman hamtaro yang bertubuh gemuk. Suka sekali makan. Haha
Ayahmu masuk ke UGD menemanimu menggantikan ibumu. Ibumu berbaring di kursi yang panjang di ruang tunggu. Aku pindah ke sampingnya, kakinya kuletakkan di pangkuanku dan memijatnya. Ibumu pasti mengantuk, matanya pasti panas terlalu banyak menangisimu. Aku memijat perlahan kaki ibumu, lihatlah dia tampak rapuh. Matanya sayu, wajahnya layu, banyak hal yang dia pikirkan. Aku tidak mengajaknya bicara, kubiarkan saja dia diam, biar dia tertidur sejenak. Ibumu tidak mau makan, nasi dan ayam krispi yang sengaja temanmu beli berdua juga. Bagaimana mau makan? Perutnya menolak, hatinya bergejolak, pikirannya terkoyak dengan berbagai imajinasi. Ibumu tidur.
Disana hanya ada aku, ibumu yang tertidur dan ayahmu yang bersamamu di UGD, juga puluhan orang yang sedang mengalami rasa yang sama. Mas alim datang, ibumu masih tidur setelah tadi sempat bangun ingin ke kamar mandi dan yang pasti ingin melihatmu. Mas alim duduk disampingku, melihat ada sekotak nasi ayam tadi, dimakan sudah olehnya dan aku juga. Haha ibumu bilang, makan saja, nanti keburu basi . Ibumu kembali masuk dan ayahmu keluar, katanya dia lapar. Tapi nasi kotak tadi sudah habis. Wkwk pergilah ayahmu ke warung depan untuk makan, mas alim juga keluar, dia merokok.
Ayahmu ‘an, dia tidak memperdulikan rasa laparnya sejak tadi pagi. Ibumu bilang ayahmu memang belum makan sejak pagi, biar saja dia di warung dulu untuk makan. Kamu masih tidur saja. sekarang ada tiga perawat disana, dua laki-laki dan satu ibu muda sedang hamil. Satu sibuk mencatat sesuatu, dua lainnya berbicara ngalor ngidul, laki-laki dan ibu hamil. Aku sedikit mencuri dengar, mereka membicarakan tentang syndrom, sambil sesekali menunjuk ke arahmu atau ke arah pasien lain. Aku tidak tau sebenarnya siapa yang mereka maksut. Sempat merasa takut bila itu benar-benar kamu. Tidak bukan kamu. Lalu ada nenek paruhbaya yang mendatangi mereka dan bertanya, apakah cucunya itu boleh minum jus jambu atau tidak. Perawat ibu muda itu bilang, tidak boleh. Beri saja minum sirup marjan rasa melon atrau rasa apapun. Itu jauh lebih baik. Disaat menungguimu, ibumu ‘an, masih sempat-sempatnya berbisik padaku dan bilang, mbak fa, perawate ayu koyok ariel tatum. Hadeeeeh.. ibumu ini.
Beberapa saat kemudian satu perawat membawakan kursi roda untuk pasien paling ujung disamping kamar mandi. Setelah itu giliranmu an, dipindahkan kamu kesana. Meskipun belum mendapat kamar secara pribadi setidaknya kamu tidak harus terbaring di ranjang di tengah jalan UGD yang sempit ini. perawat itu membangunkanmu dengan agak keras, mungkin tidak sekeras bagaimana kamu dibangunkan kalau di pondok. Berbataskan gorden hijau, ibumu mulai mengajakmu bicara. Dan yang terjadi adalah kamu tidak ingat apapun yang terjadi. Kamu tidak ingat, kamu bermain bersama dimas, temanmu. Kamu tidak ingat bahwa kamu telah menabrak sebuah mobil box. Ketika kutanya apakah kamu sholat jumat atau tidak, kamu menjawab tidak. Ibumu membantah bahwa kamu justru pergi sholat jumat dengan ayahmu juga. Kamu bahkan membenarkan perkataanku bahwa kamu datang ke rumah bude untuk minta es batu. Padahal aku berkata asal. Kenapa anak ini percaya?? Kami tertawa, ibumu marah. Bukan karena kamu menabrak mobil box, tapi karena geram padamu yang tak kunjung ingat juga. Haha
Aku pulang kemudian dengan mas alim, setelah mendapat telfon untuk pulang. Arya menunggu di rumah.




01/01/19

Comments