Gaji Buta, katanya.

Oke ya, jadi begini..
Aku hanya sedang sangat marah meskipun sesekali aku berpikir bahwa tidak ada yang bisa disalahkan di sini. Terkadang aku memang suka mengeluh, mengapa hidupku seperti ini? Mengapa aku hidup sebagai anak pegawai yang seakan tidak berkecukupan? Tapi ya, usiaku sudah berjalan menuju 22 tahun. sudah seharusnya aku bisa berpikir dari berbagai sudut pandang, tidak bisa segalanya dianggap sebuah kesalahan. Bahwa setiap orang memiliki garis hidupnya masing-masing.

Hari ini lek nik memintaku datang ke rumahnya, dia bilang dia punya beberapa kain lama yang mungkin bila aku mau dia akan membuatkan baju untukku dengan kain pilihanku. Tahun ini aku bahkan tidak berpikir untuk mengenakan baju baru, toh aku masih punya satu jubah yang masih bagus. Jubah warna pink yang membuatku menjadi sorotan selama satu hari di pesta pernikahan bu syafa.


Dan ku rasa itu sudah cukup bagiku untuk bisa ku kenakan di lebaran nanti. Tapi lek nik memilih untuk tetap membuatkan baju untukku, dia paham bahwa ibu mungkin sedang tidak punya cukup uang untuk membelikanku baju. Uang ibu sudah habis untuk berobat kakek, yang masih harus kontrol ke klinik setiap sabtu. Saat kutanya kakek sakit apa, ibu bilang dokter mengatakan bahwa kakek mengidap infeksi paru-paru. Batuknya benar-benar mengerikan.

Ah iya belum kuceritakan tentang siapa lek nik. dia adik paling bungsu dari ibuku. dia seorang ibu, istri, guru madrasah dan penjahit. dulu sebelum dia menikah dengan suaminya yang sekarang, ibu selalu menitipkanku padanya, dia menjagaku dan merawatku saat ibu harus pergi jauh. Dia bahkan membelikan baju untukku, saat itu memang aku cucu perempuan pertama di keluarga ini. Berlanjut hingga sekarang, lek nik masih sesekali memmbuatkanku baju atau bahkan membelikan. Dia baik, bisa menjadi kakak perempuan sekaligus ibu untukku.

Oke, kembali kepada alasan kenapa aku marah hari ini. Selepas berdiskusi singkat perihal memilih kain untukku, aku mengajak kakak laki2ku untuk pulang, tapi dia sedang asik menonton bola. Akhirnya aku memilih untuk duduk bersama lek nik dan suami dan anaknya. Kita membicarakan banyak hal, aku bercerita bagaimana aku menulis blog, tentang puisiku yang lolos diterbitkan dan sampai pada pembahasan yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

Tiba2 pak lek ku membahas tentang Gaji 13 seorang pegawai. Sesuatu yang aku sering dengar ibu membicarakannya dengan bapak, aku tidak pernah tau menahu seperti apa gaji 13 itu. Bukan karena aku tidak peduli, tapi pun jika aku bertanya pada ibu, ia tidak akan menjelaskan. Setelah itu barulah mereka menjelaskan seperti apa itu gaji 13. Gaji yang setiap tahun bapak terima, mereka dengan tanpa malu mengatakan bahwa itu gaji buta. Bahwa selama itu bapak, ibu dan tentu saja aku dan kakakku telah makan gaji buta. Apa yang dikatakannya?? Seketika itu aku tertegun, mataku menatap mereka nanar, hatiku bergetar sambil berpikir, bagaimana bisa mereka berkata seperti itu? Bapakku bukan pegawai yang malas. Bapak mengabdikan jiwa raganya untuk negara ini puluhan tahun. Bagaimana mereka bisa berpikir seperti ini kepada kakak iparnya sendiri? Dan tanpa merasa bersalah berkata demikian di depanku, anaknya. Sambill tertawa pula. Oke, jadi mereka sedang bercanda. Tapi candaan yang tidak lucu sama sekali.

Okelah jika mereka menganggap ini adalah gaji buta. Tapi katakan saja itu pada mereka-mereka yang berpangkat tapi malas akan kewajiban! Bukan kepada bapakku. Puluhan tahun yang lalu bapak merintis, bekerja keras untuk menghidupi istri dan anaknya, tinggal di sepetak kamar yang bisa merangkap menjadi tempat apa saja. Aku ingin menangis saja rasanya. Aku masih berusaha menanggapi guyon mereka dengan guyon bodohku juga. Bodohnya aku yang tetap membiarkan mereka mngejek separah itu. Mungkin mereka lupa, bahwa gaji buta yang mereka maksut telah membuat bapak berkali-kali bertarung dengan malaikat maut, dan hingga saat inipun bapak masih mengidap stroke. Apakah gaji buta yang mereka maksut tidak berhak bapak terima? Membiayai anak-anaknya hingga lulus sekolah dan sarjana. Terlilit hutang dimana-mana. Ijazahku belum tertebus. Bagaimana? Mereka tidak tau apa2 tentang hidupku dan keluargaku. Kenapa semudah itu?

bercanda ini menyakitkan, tapi aku masih dengan sikap bodoh berpura2 tertawa sambil main hp. tiba2 kakakku secepat kilat melenggang keluar rumah dan mengajakku pulang. langkahnya cepat dan panjang. aku segera pamit, dengan masih sedikit bercanda agar tidak terlihat seperti sedang marah. ah aku memang munafik sekali. perjalanan kami menjadi sangat cepat sampai rumah, kakakku melaju benar2 cepat. aku tau, aku bisa membaca bahwa dia tak tahan mendengar candaan dr mereka tadi. tidak bukan candaan, lebih tepatnya cemoohan!

Bersyukurlah aku, karena Allah menjadikanku perempuan yang mampu menyembunyikan marah dibalik tawa dan tangis dibalik senyum. Karena bila tidak, aku takut mereka akan melihatku bukan sebagai aku yang biasanya. Aku tidak ingin siapapun melihat langsung bagaimana aku marah, Bagaimana aku mengeluarkan setiap kata yang tajamnya melebihi tajamnya kaca yang pecah berserakan, atau kata2 misoh yang paling kotor sekalipun. Bersyukurlah :)

Suatu saat nanti akan kubuktikan semuanya. Akan aku buat semuanya menjadi sama. Aku tidak ingin membalas apapun. Karena di sisi lain aku menyadari bahwa mereka adalah pasangan yang masih muda. Pemikirannya jauh berbeda dengan pemikiran orang tuaku, mereka hanya belum merasakan bagaimana susahnya menghidupi anak-anak yang merantau jauh menuntut ilmu. Mereka hanya belum tau.

Comments